Indramayu//insanpenarakyat.com – Desa Sukaslamet, Indramayu β Riuh rendah polemik Desa Sukaslamet tampaknya belum juga reda. Padahal, sang kepala desa sudah menjalani sanksi administrasi, bahkan telah menjalani masa skorsing sebagaimana keputusan resmi pemerintah daerah. Namun, sekelompok massa yang menamai dirinya βWarga Sukaslamet Bersatuβ masih terus mendesak agar kuwu tersebut dilengserkan dari jabatannya.
Pertanyaannya, apakah ini murni suara masyarakat, ataukah hanya gema dari segelintir kelompok yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu?
Di lapangan, banyak warga justru menyatakan dukungan agar kepala desa diberi kesempatan memperbaiki kesalahan dan melanjutkan pembangunan. βSemua orang pernah salah, yang penting mau memperbaiki,β ujar seorang tokoh masyarakat setempat yang enggan disebut namanya.
Ali Sopyan, LSM WRC (lembaga Swadaya Masyarakat Watch Relation Of Corruption) mengatakan, Namun sayangnya, suara rasional ini sering kalah bising oleh propaganda di media sosial. Sejumlah akun Facebook anonim terus menyebar narasi negatif dan ajakan provokatif. Dari hasil penelusuran warga, beberapa akun tersebut ternyata dikelola oleh orang-orang yang juga aktif dalam aksi kontra kuwu.
Lebih ironis lagi, ada dugaan bahwa sebagian pihak memanfaatkan keributan desa sebagai βlahan cuanβ. Beberapa konten kreator diketahui rutin menyiarkan video dan siaran langsung dari lokasi aksi, lengkap dengan narasi provokatif, untuk mendapatkan tayangan dan pendapatan dari iklan Facebook (AdSense). Balai Desa yang seharusnya menjadi simbol musyawarah dan pembangunan, justru dijadikan βstudio kontenβ demi viralitas semu.
Kini, publik Desa Sukaslamet dihadapkan pada dua pilihan: Apakah ingin melanjutkan aksi tanpa ujung yang hanya menguntungkan segelintir orang, atau bersama-sama menata kembali kerukunan dan pembangunan desa?
Sang kuwu sendiri sudah mengakui kesalahannya dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. βSaya ingin membangun kembali desa dengan damai. Mari kita rukun dan berpikir bijaksana,β ucapnya dengan nada tulus.
Mungkin sudah saatnya masyarakat berhenti menjadi bahan tontonan, dan kembali menjadi pelaku utama perubahan di desanya sendiri. Karena desa tidak akan maju bila warga sibuk berdebat di kolom komentar, sementara sawah, jalan, dan pembangunan menunggu disentuh.
(Supriyadi)





