
Indramayu//insanpenarakyat.com – Tumpukan sampah yang meluber hingga ke badan jalan di sejumlah Tempat Penampungan Sementara (TPS) di Kabupaten Indramayu menjadi sorotan pegiat lingkungan Jawa Barat, Arbi Fuadi. Menurutnya, kondisi ini mencerminkan gagalnya sistem pengelolaan sampah yang menyeluruh di tingkat daerah.
“Sangat miris dan memprihatinkan, hal ini menggambarkan betapa pengelolaan sampah di sebuah daerah masih sangat sulit dilakukan secara ‘selesai’,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (21/4/2025).
Berdasarkan data tahun 2023, pengangkutan sampah di Kabupaten Indramayu hanya mencapai 40 persen. Arbi menambahkan bahwa meskipun diklaim meningkat menjadi 60 persen pada 2024 oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dalam sebuah podcast, realitas di lapangan masih menunjukkan keberadaan tumpukan sampah yang mencemari jalan hingga aliran sungai.
Selain itu, ia menyoroti praktik pembakaran sampah yang masih ditemukan di sekitar TPS dan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran hukum.
“Pembakaran sampah merupakan pelanggaran etika lingkungan, sudah diatur pada undang-undang dan Perda. UU No. 18 Tahun 2008 Pasal 29 dan 40 mengancam kurungan 6 bulan dan denda Rp50 juta. Sementara Perda Kabupaten Indramayu No.12 Tahun 2026 mengatur denda administratif hingga Rp500 ribu,” jelasnya.
Arbi menekankan bahwa pembakaran bukan solusi pengelolaan, melainkan hanya mengubah bentuk sampah menjadi gas berbahaya yang dapat memicu penyakit pernapasan serius.
Dampak buruk TPS yang tidak tertangani juga menyasar sektor pertanian. Arbi mengungkapkan bahwa tumpukan sampah dapat menyumbat aliran air ke lahan pertanian dan mencemari sumber air.
“Jika sampah plastik sampai ke laut melalui muara, maka akan berubah jadi mikro atau nano plastik yang memengaruhi ekosistem mangrove hingga kualitas ikan laut. Studi Environmental Science & Technology April 2024 menyebut konsumsi plastik di Indonesia mencapai 15 gram per orang per bulan. Sangat mengerikan, akan muncul penyakit-penyakit baru,” katanya.
Terkait penempatan TPS yang jauh dari permukiman, Arbi menyampaikan pandangan netral, mengingat Perda Indramayu memang mengatur jarak minimal 1 kilometer dari pemukiman.
“Banyak fasilitas pengelolaan sampah justru di tengah permukiman, ini bisa jadi ‘rangsangan’ agar masyarakat sadar bahwa tanggung jawab sampah adalah tanggung jawab bersama,” ucapnya.
Ia menyebut bahwa persoalan utama terletak pada sistem pengangkutan yang belum terjadwal secara optimal.
“Secara SOP penempatan mungkin itu sudah sesuai, tapi yang mungkin belum berjalan adalah pengangkutan rutin dan terjadwal dengan mempertimbangkan timbulan sampah agar tidak terjadi tumpukan,” ujarnya.
Arbi juga mendorong Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu untuk lebih serius menangani masalah ini melalui evaluasi menyeluruh terhadap kinerja dan skema pengangkutan sampah.
“Saya harap dengan adanya ini bisa menjadi ‘trigger’ pemerintah untuk mau serius dalam urusan pengelolaan sampah di Kabupaten Indramayu, agar kualitas hidup masyarakat meningkat dan lingkungan yang berkelanjutan,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu belum memberikan tanggapan, baik melalui pesan singkat, sambungan telepon, maupun saat wartawan mengunjungi kantor instansi tersebut.
(Yasin)